Jumat, 18 Desember 2009

Relasi antara Psikologi dan Agama

Deborah Van Deusen Hunsinger berbicara tentang hubungan antara psikoanalisis dan agama:

“Psikologi kedalaman (depth psychology) dan pemahaman tentang jiwa-tak-sadar juga memberikan kepada kita alat konseptual untuk memahami peristiwa yang tidak bisa dipahami dengan kerangka teologis, tetapi mempengaruhi kehidupan iman secara dramatis.”
Ia mencontohkan kisah perempuan yang dikira kemasukan setan karena mengaku dan meyakini dirinya mendengar suara-suara gaib dan mengandung Isaac, anak yang dijanjikan. Maka dilakukan ritual mengusir setan berkali-kali tapi tak berhasil. Lantas psikolog didatangkan dan mendalami akar-akar psikologis dari peristiwa tersebut. Dan diketahui bahwa si perempuan pernah tujuh kali menggugurkan kandungannya karena didiagnosis secara medis janinnya berkelamin perempuan oleh desakan keluarga suami yang memegang kultur bahwa semua hal bergantung pada kaum laki-laki. Simpulannya, si perempuan tengah menderita depresi, kemarahan, kesedihan akut yang terus disembunyikan hingga akhirnya hal itu tak tertahankan lagi dan mencuat dalam bentuk gejala psikis yang sangat ekstrim.

Untuk terapi pasien yang menderita kelainan psikis, “intervensi spiritual” bisa jadi dilakukan. Pada ruang hidup inilah (yaitu penderitaan), psikologi dan agama berintegrasi.

Bagi kebanyakan para psikolog ateis, perilaku manusia dijelaskan secara naturalistis. Artinya, menghindari penjelasan spiritual dan transendental. Bagi Freud, daya bawah sadar manusia adalah dorongan seksual (psikoseksual), bukan mata air spiritual sebagaimana pikiran Jung. Watson berpendapat bahwa proses jiwa di dalam jangan dihiraukan, fokusnya harus pada pengukuran antara stimulus yang masuk (input) dan respon yang keluar (output). Skinner, Hull, Bandura dan Rogers tampaknya mengambil jalan pemuka psikoanalisis dan behaviorisme tersebut.

Charles Tart berbicara tentang kehausan spiritual di tengah modernitas dan kemajuan sains: “Begitu banyak di antara kita yang kaya –tetapi kita masih juga tak puas.”
Orang-orang ini sebenarnya menderita sindrom yang disebut “existential neurosis“, ketidakbahagiaan (ketidaktenteraman) yang bersumber pada pertanyaan-pertanyaan tentang makna.
Dalam psikologi humanistis: kreativitas, vitalitas emosi, autentisitas, dan pencarian makna di atas kepuasan materi adalah hal-hal yang menjadi topik utama. Tetapi, aliran ini masih saja menyiratkan pandangan bahwa pikiran, emosi, dan tubuh semuanya dapat direduksi dan disamakan dengan reaksi materi yang bersifat fisik dan karenanya dibatasi olehnya. Dimensi keempat manusia, yaitu “ruh”, tampaknya masih terabaikan disini. Psikologi transpersonal menemukan relevansinya untuk mengembangkan aspek keempat tersebut.

Psikologi Humanistis

Bersamaan dengan psikologi eksistensialis, muncul sekitar tahun 60-an membentuk angkatan ketiga dalam psikologi. Angkatan pertama adalah psikoanalisis yang muncul di Jerman. Angkatan kedua behaviorisme yang muncul di Amerika.
Ada juga yang menyebut bahwa angkatan ketiga adalah psikologi kognitif yang juga lahir di Amerika ketika rakyat kelas menengahnya bergelimang kemakmuran materi dan menderita dahaga spiritual yang akut.
Kekosongan itu menurut Maslow adalah sebab kekosongan nilai (valuelessness). Tak ada lagi yang dikagumi, dirindukan atau diperjuangkan yang demi hal itu seseorang bisa mempersembahkan hidup dan matinya (to live or to die for). Sekalipun manusia ketika itu tidak lagi hidup bersandar nilai-nilai luhur, kerinduan akan hal tersebut tetap saja hidup. Kemana nilai luhur dicari ? Jelas bukan pada sains modern. Kata Maslow, sains menjadi busuk ketika mencampakkan nilai. Karena sains yang netral-nilai bisa menjadi alat yang dapat digunakan oleh siapapun dan untuk tujuan apapun.
Behaviorisme telah mengorbankan manusia pada belas kasih lingkungan sebagai produk hubungan stimulus-respon, atau yang bertumpu pada pengalaman obyektif dan menolak pengalaman subyektif. Psikoanalisis juga menganggap nilai-nilai tinggi dalam kehidupan ini hanyalah topeng untuk menutupi kebutuhan naluriah yang rendah dan karenanya nihilistik. Maslow berpandangan bahwa psikologi sekarang harus melihat kehidupan spiritual sebagai komponen pokok kehidupan biologis kita. Tegasnya, manusia adalah produk dan resultan dari kerinduan untuk mengaktualisasikan diri dalam bingkai nilai yang diperjuangkannya.

Psikologi Eksistensialis

Psikologi ini mulai menanggalkan metode positivistis dengan mengambil fenomenologi sebagai alatnya. Carl Rogers bahkan memandang bahwa fenomenologi (yang percaya bahwa apa yang dilakukan manusia adalah buah dari refleksi pengalaman subyektifnya terhadap dunia dan diri sendiri) sebagai otoritas terakhir dalam kehidupan, bukan kitab suci, nabi, riset atau lainnya.
Beda dengan Rogers yang cenderung ateis, Victor Frankl memandang bahwa dengan fenomenologi manusia menemukan dimensi eksistensialis yang khas baginya. Dimensi yang disebutnya dimensi noologis atau noetik itu tidak saja melampaui (transcend) tetapi juga mencakup dimensi ragawi dan naluri dimana psikologi Freud berkubang. Dimensi noologis itu adalah keinginan manusia untuk mencari makna. Frankl berpendapat: Orang-orang yang yang punya tujuan atau makna dalam hidupnya dapat bertahan dan berkembang bahkan pada situasi yang paling mengerikan sekalipun. Sebaliknya, orang-orang yang tidak menemukan makna dalam hidupnya dengan cepat melemah, roboh, dan mati karena apati dan putus asa.
Bagi Frankl, agama adalah sebuah fenomena noologis, pencarian makna terakhir (search for ultimate meaning). Sekalipun obyek kepercayaan agama tak akan tertangkap psikologi, ia masih bisa mengkaji aspek manusiawi dari fenomena manusia. Bahkan Frankl menegaskan, karena setiap manusia mencari makna, secara fitrah tiap manusia itu beragama.
Ada “religious sense” tertanan dalam-dalam di “unconscious depths”. Dan rasa beragama ini tidak akan dapat dihilangkan baik oleh psikosis atau penjara.
Soren Kierkegaard melihat, ketika berhadapan dengan pilihan-pilihan hidup yang tak berhingga manusia mengalamai kecemasan (anxiety). Ia bisa saja menolak pilihan dan menjadi budak dari kebutuhan kehidupan hingga gagal menjadi diri yang otentik. Kegagalan inilah yang disebutnya sebagai keputusasaan (despair). Menurutnya, manusia tidak boleh menyerah terhadap pilihan, ia harus punya rujukan, dan rujukan sejati itu menurutnya adalah Tuhan. Ia mengilustrasikan tahapan perjalanan menemukan diri sejati itu dalam tiga tahap: estetik, etik dan religius.

Psikologi Transpersonal

Ken Wilber melihat bahwa psikologi, psikoterapi, filsafat dan tradisi spiritual tidak perlu bersaing dan saling menyingkirkan. Kita harus bisa melihat semuanya berada dalam spektrum kesadaran dan pengalaman yang berbeda.
Menurutnya, manusia bergerak dari tahap prapersonal ke personal lantas transpersonal. Pada tiap tahap yang baru manusia senantiasa mengintegrasikan ciri-ciri “kepribadian” tahap sebelumnya. Untuk kasus sains dan agama, sudah tiba saatnya keduanya untuk berinterasi.
Tokoh yang juga tak bisa diabaikan dalam pendirian aliran ini adalah Anthony Suttich, Abraham Maslow, Stanislav Grof, dan Victor Frankl yang dari pertemuan mereka istilah transpersonal ini lahir.

Empat asumsi dasar dari psikologi ini adalah:

(1) pendekatan kepada penyembuhan dan pertumbuhan yang menyentuh semua tingkat spectrum identitas: prapersonal, personal, dan transpersonal;
(2) mengakui terurainya kesadaran diri terapis serta pandangan dunia spiritualnya sebagai hal yang utama dalam membentuk sifat proses dan hasil terapi;
(3) kebangkitan (awakening) dari identitas kecil menuju identitas yang lebih besar;
(4) membantu proses kebangkitan dengan teknik-teknik yang mempertajam intuisi dan memperdalam kesadaran personal dan transpersonal tentang diri. Hal ini mengantar pada apa yang sekarang lazim dikenal sebagai intervensi spiritual dalam psikoterapi.
Maka, sekarang, psikolog tampaknya harus mengerti agama dan agamawan harus belajar psikologi.

Posmodernisme

Ken Wilber memberi catatan tentang hubungan sains dan agama dalam bentuk 5 situasi:
(1) Sains menolak keabsahan agama. Kaum positivis dan empiris menjadi pendukung utamanya: Comte, Freud, Marx, Bertrand Russel. Bagi mereka, agama patologi bagi kepribadian yang dewasa;
(2) Agama menolak keabsahan sains. Bentuk reaksi kaum fundamentalis terhadap modernitas yang mencemoohkan agama sebagai fantasi anak-anak;
(3) Sains hanyalah salah satu diantara beberapa cara mengetahui yang abash, dan karenanya keduanya bisa berkoeksistensi secara damai. Mistikus Kristen seperti St. Bonaventure dan Hugh dari St. Victor pernah menjelaskan 3 macam mata: eye of flesh (yang beri pengetahuan empiris / sains), eye of mind (yang beri pengetahuan rasional: logika dan matematika), dan eye of contemplation (yang beri pengetahuan ruhaniah / gnosis). Argument ini biasa disebut pluralisme epistemologis. Wilber menyatakan: mata daging bersifat monologis, mata jiwa bersifat dialogis, dan mata kontemplatif bersifat translogis;
(4) Sains menawarkan “plausibility arguments” tentang eksistensi ruh (spirit). Sebagai variasi pluralisme epistemologis, ketika sains sampai pada rahasia terdalam dunia fisik, mereka menemukan fakta dan data yang tampaknya menuntut perlunya mengikutsertakan Maha-intelegensi yang berada di luar wilayah material. Dalam bahasa Sir James Jeans, “in the mind of some eternal Spirits“;
(5) Sains itu sendiri bukanlah pengetahuan tentang dunia, tetapi hanyalah penafsiran tentang dunia, dan karena itu dari segi keabsahan, sains tidak lebih dan tidak kurang dari puisi dan seni. Inilah yang menurut Wilber esensi dari posmodernisme. Dunia baginya tidak dipersepsi, tetapi hanya ditafsirkan. Berbagai penafsiran sama-sama absah untuk memahami dunia. Sains tidak menawarkan “kebenaran”, tetapi hanya prasangka favorit yang dipaksakan secara sewenang-wenang. Klaim sains dan agama sama-sama dihancurkan, manusia dilemparkan dalam jurang relativisme.

Bentuk-bentuk Interaksi Psikologi dan Agama

Jones menyebut 3 model interaksi psikologi dan agama:
(1) Kritis-evaluatis. Teori-teori psikologi dikaji secara kritis apakah tidak bertentangan dengan keyakinan agamanya. Jadi, psikologi diletakkan di bawah mikroskop agama;
(2) Konstruktif. Agama membantu psikolog untuk melihat dunia dengan cara yang baru, membentuk persepsi baru tentang data dan teori. Ajaran agama tidak menjadi sumber data untuk mengevaluasi teori, tetapi menjadi “kacamata” yang mempengaruhi apa yang kita lihat sebagai data atau yang kita rumuskan sebagai teori;
(3) Dialogis dan dialektis. Disini, psikologi tidak memaksa agama mengikuti jalan yang dikehendakinya, sebaliknya agama tidak memaksa sains untuk tunduk pada kehendaknya. Agama harus membantu psikologi memberi perspektif yang berbeda. Psikologi harus membantu agama melihat kehidupan yang berbasiskan pengalaman empiris.

Jones menyatakan: “Kesediaan dialogis dengan agama menyiratkan kesediaan ilmuwan dan professional untuk mendalami teologi dan filsafat. Serta kesediaan teolog dan filosof untuk mendalami sains dan memahami profesi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar