Jumat, 18 Desember 2009

Faktor Terbesar yang Merusak Mental Anak adalah Orang Tua

Manusia terlahir didunia pertama kali di ibaratkan bagaikan kertas putih yang tidak terpengaruh dan ternoda, kertas tersebut dapat rusak dan kotor penuh noda karena beberapa faktor yaitu faktor Lingkungan, Keluarga, Pendidikan dan lainnya. Ternyata dari hasilpenelitian para ahli menyimpulkan bahwa Faktor bimbingan orang tua adalah faktor terbesar yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak!

Perkembangan kecerdasan dan mental seorang anak atau IQ/EQ sering dirusak para orangtua karena cara mengasuh, membimbing, serta membina anak pada “usia keemasan” (nol sampai enam tahun) dengan cara yang salah, yakni sekadar bicara bukan dengan sikap/teladan.

Pesan moral itu disampaikan Ria Enes bersama boneka Susan saat menghibur sekitar seribu anak dalam acara Kumpul Seribu Bocah yang digelar oleh Dinas Pendidikan Kaltim dalam rangkaian peringatan Hardiknas di Stadion Madya Sempaja.

“Menurut para ahli psikologi, usia menyerap anak pada ’usia keemasan’, yakni sampai enam tahun mencapai 70-80 persen anak pada usia ini dapat mengingat dan merekam daam memori meraka jutaan peristiwayang dialaminya dan pada waktu nilah anak efektif dibina dengan cara sikap atau teladan orangtua, bukan hanya sekadar perintah atau bicara, jadi ibu-ibu jangan merusak kecerdasan dan mental anak kita akibat kesalahan kita sendiri,” kata Ria Enes.

“Kalau kita perintahkan anak belajar, sementara orangtuanya nonton TV, pasti anak tetap ikut nonton TV. Kalaupun kita paksa anak belajar, kemungkinan besar anak akan menangis, yaSusan ya!” kata Ria menatap “Susan”, boneka lucu yang dipegang di tangan kanannya.

Sementara itu “Susan” mengiyakan apa yang dikatakan Ria. Bahkan, Susan juga mengatakan jika orangtua menyuruh belajar, maka orangtua juga harus memberi contoh belajar agar anak mau mengikutinya.

“Kalau ibu menyuruh saya belajar, ibu juga harus belajar, jadi kita sama-sama belajar,” kata Susan, sang boneka yang disambut tawa ibu-ibu dan bocah yang terlihat kagum melihat pertunjukan suara perut itu.

Ia menambahkan bahwa anak-anak butuh keteladanan dan contoh sikap tersebut bagi seorang anak akan tertanam kuat dalam benaknya sampai mereka dewasa nanti.

“Jika sejak kecil anak sudah terbiasa melihat orangtuanya berbuat apa saja, baik itu shalat dan mengaji, maka hal itu akan mereka ingat terus. Namun, apabila ayah dan ibunya sering berkelahi, maka kebiasaan orangtua akan terekam pula dan bisa terbawa menjadi sikap keras mereka saat dewasa,” kata Ria melalui sang bonekaSusan.

Ria yang juga menghibur lewat gaya mendongeng dan menyanyi menyampaikan cara mendidik anak agar tidak ada unsur paksaan dan kekerasan, baik kekerasan secara lisan, maupun kekerasan secara fisik.

Pasalnya, hal itu justru bisa memengaruhi pelambatan daya pikir, kreativitas, dan mental atau intelligent quatients dan emotional quotients (IQ/EQ) si anak.

Sementara itu, panitia Kumpul Seribu Bocah, Sutikno, yang juga salah seorang Kasi di Disdik Kaltim, mengatakan bahwa salah satu tujuan dilakukan acara tersebut adalah, selain memberikan penyegaran terhadap anak tentang hiburanyang dibawakan oleh Ria Enes, juga memberikan tambahan ilmu kepada orangtua yang mengantar anaknya.

“Cara mendongeng dan menyanyi lebih cepat mereka terima, baik bagi anak-anak, maupun para orangtua yang hadir pada acara ini. Dalam rangkaian peringatan Hardiknas ini kita ingin mengisinya dengan hal yang benar-benar bermanfaat bagi dunia pendidikan, yakni melalui pesan moral ini, bukan sekadar hura-hura,” imbuh dia.

Ia menjelaskan bahwa pendidikan di sekolah sifatnya hanya dukungan bagi perkembangan anak, tetapi mempersiapkan generasi muda, yang menjadi aset bangsa itu, berawal dari rumah atau kehidupan keluarganya.

“Ketika memasuki dunia sekolah di SD, usia keemasan anak itu sudah lewat karena masuk sekolah, batas usia sudah tujuh tahun,” papar dia.

Sebagai “orang pendidikan”, ia juga mengharapkan agar cara mendidik anak melalui dongeng sebelum tidur sebenarnya cara sangat tepat selain melalui sikap/teladan orangtua.

“Misalnya, kita akan menceritakan tokoh-tokoh yang bijaksana, berbudi, serta orang-orang jahat. Jadi, pesan moral yang kita sampaikan di dalam dongeng termasuk cara pendidikan yang tepat. Namun, dengan perkembangan sekarang, anak kita manjakan dengan menonton TV dan game,” kata dia.

Pihaknya berjanji bahwa, dalam peringatan Hardiknas di tahun-tahun yang akan datang, mereka terus mengisinya dengan berbagai acara yang benar-benar bermanfaat bagi dunia pendidikan, bukan sekadar acara seremonial dan hura-hura.

sumber Kompas.com

Orangtua Kunci Mental Anak

Uci, bocah berusia 11 tahun, pekan lalu nekat memanjat menara listrik saluran udara tegangan ekstra tinggi 150.000 volt di Cililitan, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Dalam keadaan marah, dia memanjat menara itu hingga ke puncak tanpa takut jatuh, sementara orang-orang yang berada di bawah sudah hampir pingsan melihatnya. Ibunya, Ehan (41), tak kuat berdiri melihat Uci beberapa kali disambar burung di puncak menara.

Uci nekat memanjat menara listrik karena tidak sabar menanti sepeda yang akan dipinjamnya pulang. Uci yang sangat gemar bermain sepeda harus meminjam sepeda milik Endang, tetangganya, karena ayahnya tidak mampu membeli sepeda. Adapun Endang memerlukan sepeda itu untuk berjualan gas.

Untunglah, setelah dibujuk selama tiga jam dengan iming-iming sepeda akhirnya Uci bersedia turun.

Kenekatan seorang bocah dalam melakukan hal-hal yang berbahaya, bahkan ada juga bocah yang bunuh diri, makin lama kerap terjadi. Pemicunya kadang kala masalah yang sangat sederhana.

Apa yang mereka lakukan seperti yang orang dewasa lakukan. Ada yang gantung diri, ada yang terjun dari ketinggian, ada juga minum racun serangga.

Menurut psikolog dari Universitas Indonesia, Kristi Purwandari, penyebab bunuh diri tidak sesederhana seperti putus cinta, tertekan di sekolah, atau bertengkar dengan orangtuanya (Kompas, 5/4/2009).

Kristi mengatakan, praktisi kesehatan mental biasanya akan memilah faktor predisposisi (faktor pemberi pengaruh yang bersifat lebih mendasar) dari faktor pencetus situasional. Putus cinta faktor pencetus, tetapi kemungkinan besar ada faktor lebih mendasar, misalnya kerentanan pribadi menghadapi tekanan. Tentu situasi sangat sulit dapat mempermudah orang kurang tangguh menghayati keputusasaan dan ketidakberdayaan.

Sementara itu, pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Adriana S Ginanjar, mengatakan, apa yang dilakukan anak-anak dalam menghabiskan hidupnya adalah mencontoh apa yang orang dewasa lakukan. ”Mereka mendapatkan informasi itu dari televisi, dari koran, atau dari pembicaraan dengan teman-temannya,” kata psikolog yang biasa dipanggil Ina.

Depresi

Dari Survei Kesehatan Rumah Tangga 1995 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, diketahui, prevalensi anak (5-14 tahun) yang mengalami gangguan mental adalah 104 dari 1.000 anak, sementara orang dewasa yang mengalami gangguan mental 140 dari 1.000 orang dewasa.

Belum ada data mutakhir untuk gangguan mental. Namun, Arist Merdeka Sirait, Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak, memperkirakan, anak yang mengalami stres dan depresi saat ini lebih banyak. ”Situasi sosial ekonomi sekarang makin sulit dibandingkan empat belas tahun lalu. Orangtua pasti stres. Jika orangtua stres, anak pun akan tertekan,” kata Arist.

Data di Litbang Kompas menunjukkan, sepanjang tahun 2005-2008 ada 26 anak berusia 5-17 tahun yang bunuh diri. Tingginya angka anak yang bunuh diri ini menunjukkan anak tidak sekadar mengalami stres, tetapi sudah mengalami depresi. Dengan informasi dan wawasan yang belum luas, seorang anak yang depresi bisa mengambil tindakan yang berbahaya.

Ina mengatakan, orangtua dengan kondisi sosial ekonomi menengah ke bawah sering kali kesulitan memberikan perhatian kepada anak karena mereka sudah kelelahan mencari nafkah.

Uci datang dari keluarga dengan ekonomi lemah. Kedua orangtuanya sibuk berjualan tahu goreng keliling. Ketika Uci minta sesuatu, bisa jadi karena tidak sanggup memenuhi dan sudah kelelahan, Uci justru dimarahi. Dia lalu naik ke menara. Kenekatan Uci memanjat menara, pekan lalu, adalah yang keempat kalinya. Setelah dia memanjat, barulah orangtuanya memenuhinya.

”Ketika anak minta sesuatu dan orangtua tidak memenuhi, anak jadi marah. Setelah dia berbuat sesuatu yang dramatis, barulah orangtua memerhatikan,” kata Ina.

Kenekatan ini tentu saja berbahaya karena seorang anak tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai tindakan yang diambil. Seperti kenekatan Uci memanjat menara listrik, selain bisa membahayakan jiwanya, kenekatan itu juga mengancam pasokan listrik. Jika tubuh Uci terseret medan listrik, sudah pasti terjadi hubungan pendek arus listrik dan matilah listrik se-Jawa-Bali.

Komunikasi

Arist mengatakan, tekanan sosial ekonomi yang makin berat hanya bisa dikurangi dengan komunikasi yang baik antara orangtua dan anak. ”Jika orangtua memang tidak bisa memenuhi keinginan anak, berikan penjelasan mengapa permintaannya tidak bisa dipenuhi.”

Komunikasi yang baik dan berkualitas ini akan bisa menjelaskan mengapa dia tidak bisa membeli barang-barang kebutuhan yang diiklankan di televisi, misalnya. ”Tidak mungkin kita menutup stasiun televisi atau mencegah lingkungan sosial mengganggu ketenteraman anak. Kita juga sulit mengubah kurikulum sekolah yang tidak ramah pada anak,” ujar Arist.

Jika anak hanya dilarang atau ditolak permintaannya, anak akan menjadi bingung, ke mana lagi dia akan meminta. Sementara orangtua adalah satu-satunya idola yang dimiliki.

(M CLARA WRESTI)

Bekerja Setelah Pensiun Bagus Untuk Kesehatan

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang yang tetap bekerja di bidangnya meski telah pensiun menikmati kesehatan fisik dan mental lebih baik dibandingkan mereka yang berhenti bekerja sepenuhnya atau beralih ke bidang kerja lain. Menurut para peneliti, calon pensiunan disarankan untuk pindah ke fase transisi atau yang disebut "jembatan kerja" sebelum pensiun total.

Seperti dilansir Reuters, penelitian dilakukan Universitas Maryland di College Park, Wilayah Prince George, Maryland, Amerika Serikat. Penelitian yang dimulai pada 1992 ini menggunakan data lebih dari 12 ribu pekerja di AS. Respoden yang berusia antara 51 hingga 61 tahun disurvei setiap dua tahun sekali selama periode enam tahun.

Hasilnya, tim peneliti menemukan bahwa orang-orang yang masuk fase transisi beresiko lebih rendah terserang penyakit-penyakit fatal seperti tekanan darah tinggi, jantung, diabetes dan rematik. Tidak hanya sehat secara fisik, mereka juga cenderung tidak memiliki masalah kesehatan mental seperti depresi.

Kendati demikian, kesehatan mental yang sama tidak terlihat pada pensiunan yang mengambil masa transisi, namun dengan pekerjaan paruh waktu di bidang lain. Menurut Dr Mo Wang yang merupakan Asisten Profesor Psikologi Universitas Maryland, hal ini kemungkinan terjadi lantaran banyak dari mereka yang tetap bekerja karena alasan keuangan dan bukan sebagai pilihan. Selain itu, Wang juga berpendapat faktor penyesuaian diri dan gaya hidup yang mungkin juga berpengaruh.

Wang menjelaskan, fase transisi terutama di bidang kerja yang sama bisa bermanfaat bagi kesehatan fisik dan mental untuk alasan-alasan tertentu. Pekerjaan dapat membantu orang dewasa mempertahankan gaya hidup aktif yang dimilikinya selama karir serta mengurangi stres yang mungkin mereka rasakan dari masa transisi hingga pensiun total. Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal kesehatan yang bertajuk Journal of Occupational Health Psychology. Liputan6.com, New York

Hidup Melajang Baik Untuk Kesehatan Mental

Jika hingga saat ini Anda masih hidup melajang, sebaiknya Anda bersyukur. Pasalnya, sebuah penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari University of London mengungkapkan bahwa perempuan lajang terbukti memiliki kesehatan mental yang jauh lebih baik dibandingkan dengan perempuan lain yang telah menikah atau menjanda karena cerai.

Sebaliknya, para laki-laki justru sebaliknya. Dibandingkan hidup sendiri, kesehatan mental kaum Adam justru akan jauh lebih baik jika mereka menikah. ”Mental perempuan akan menjadi lebih memburuk lagi jika ia mengalami beberapa kali putus cinta dan harus memulai lagi hubungan percintaan dari awal,” demikian ujar Dr Michaela Benzeval, pemimpin penelitian. Bahkan menurut para peneliti, perempuan yang hidup menjanda karena cerai memiliki kesehatan mental yang terburuk di antara semua perempuan.

Hasil penelitian yang telah dimuat dalam Journal of Epidemiology and Community Health dan melibatkan 4.500 laki-laki dan perempuan yang berusia 65 tahun ke bawah ini bertujuan agar Pemerintah Inggris segera memperbaiki undang-undang yang menyangkut pernikahan atau hidup bersama tanpa nikah. Sebab, hukum pernikahan yang ada selama ini kurang bisa melindungi hak-hakperempuan sehingga dampak perceraian membuat kesehatan mental para perempuan di Inggris menjadi buruk.

Facebook Mengancam Kesehatan Mental

Beberapa waktu lalu muncul laporan mengenai tanda-tanda orang kecanduan Facebook atau situs jejaring sosial lainnya, misalnya Anda mengubah status lebih dari dua kali sehari dan rajin mengomentari perubahan status teman. Anda juga rajin membaca profil teman lebih dari dua kali sehari meski ia tidak mengirimkan pesan atau men-tag Anda di fotonya.

Laporan terbaru dari The Daily Mail menyebutkan, kecanduan situs jejaring sosial seperti Facebook atau MySpace juga bisa membahayakan kesehatan karena memicu orang untuk mengisolasikan diri. Meningkatnya pengisolasian diri dapat mengubah cara kerja gen, membingungkan respons kekebalan, level hormon, fungsi urat nadi, dan merusak performa mental. Hal ini memang bertolak belakang dengan tujuan dibentuknya situs-situs jejaring sosial, di mana pengguna diiming-imingi untuk dapat menemukan teman-teman lama atau berkomentar mengenai apa yang sedang terjadi pada rekan Anda saat ini.

Suatu hubungan mulai menjadi kering ketika para individunya tak lagi menghadiri social gathering, menghindari pertemuan dengan teman-teman atau keluarga, dan lebih memilih berlama-lama menatap komputer (atau ponsel). Ketika akhirnya berinteraksi dengan rekan-rekan, mereka menjadi gelisah karena "berpisah" dari komputernya.

Si pengguna akhirnya tertarik ke dalam dunia artifisial. Seseorang yang teman-teman utamanya adalah orang asing yang baru ditemui di Facebook atau Friendster akan menemui kesulitan dalam berkomunikasi secara face-to-face. Perilaku ini dapat meningkatkan risiko kesehatan yang serius, seperti kanker, stroke, penyakit jantung, dan dementia (kepikunan), demikian menurut Dr Aric Sigman dalam The Biologist, jurnal yang dirilis oleh The Institute of Biology.

Pertemuan secara face-to-face memiliki pengaruh pada tubuh yang tidak terlihat ketika mengirim e-mail. Level hormon seperti oxytocin yang mendorong orang untuk berpelukan atau saling berinteraksi berubah, tergantung dekat atau tidaknya para pengguna. Beberapa gen, termasuk gen yang berhubungan dengan sistem kekebalan dan respons terhadap stres, beraksi secara berbeda, tergantung pada seberapa sering interaksi sosial yang dilakukan seseorang dengan yang lain.

Menurutnya, media elektronik juga menghancurkan secara perlahan-lahan kemampuan anak-anak dan kalangan dewasa muda untuk mempelajari kemampuan sosial dan membaca bahasa tubuh. "Salah satu perubahan yang paling sering dilontarkan dalam kebiasaan sehari-hari penduduk Inggris adalah pengurangan interaksi dengan sesama mereka dalam jumlah menit per hari. Kurang dari dua dekade, jumlah orang yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang dapat diajak berdiskusi mengenai masalah penting menjadi berlipat."

Kerusakan fisik juga sangat mungkin terjadi. Bila menggunakan mouse atau memencet keypad ponsel selama berjam-jam setiap hari, Anda dapat mengalami cidera tekanan yang berulang-ulang. Penyakit punggung juga merupakan hal yang umum terjadi pada orang-orang yang menghabiskan banyak waktu duduk di depan meja komputer. Jika pada malam hari Anda masih sibuk mengomentari status teman Anda, Anda juga kekurangan waktu tidur. Kehilangan waktu tidur dalam waktu lama dapat menyebabkan kantuk berkepanjangan, sulit berkonsentrasi, dan depresi dari sistem kekebalan. Seseorang yang menghabiskan waktunya di depan komputer juga akan jarang berolahraga sehingga kecanduan aktivitas ini dapat menimbulkan kondisi fisik yang lemah, bahkan obesitas.

Tidak heran jika Dr Sigman mengkhawatirkan arah dari masalah ini. "Situs jejaring sosial seharusnya dapat menjadi bumbu dari kehidupan sosial kita, namun yang kami temukan sangat berbeda. Kenyataannya situs-situs tersebut tidak menjadi alat yang dapat meningkatkan kualitas hidup, melainkan alat yang membuat kita salah arah," tegasnya.

Namun, bila aktivitas Facebook Anda masih sekadar sign in, mengonfirmasi friend requests, lalu sign out, tampaknya Anda tak perlu khawatir bakal terkena risiko kanker, stroke, bahkan menderita pikun.

Relasi antara Psikologi dan Agama

Deborah Van Deusen Hunsinger berbicara tentang hubungan antara psikoanalisis dan agama:

“Psikologi kedalaman (depth psychology) dan pemahaman tentang jiwa-tak-sadar juga memberikan kepada kita alat konseptual untuk memahami peristiwa yang tidak bisa dipahami dengan kerangka teologis, tetapi mempengaruhi kehidupan iman secara dramatis.”
Ia mencontohkan kisah perempuan yang dikira kemasukan setan karena mengaku dan meyakini dirinya mendengar suara-suara gaib dan mengandung Isaac, anak yang dijanjikan. Maka dilakukan ritual mengusir setan berkali-kali tapi tak berhasil. Lantas psikolog didatangkan dan mendalami akar-akar psikologis dari peristiwa tersebut. Dan diketahui bahwa si perempuan pernah tujuh kali menggugurkan kandungannya karena didiagnosis secara medis janinnya berkelamin perempuan oleh desakan keluarga suami yang memegang kultur bahwa semua hal bergantung pada kaum laki-laki. Simpulannya, si perempuan tengah menderita depresi, kemarahan, kesedihan akut yang terus disembunyikan hingga akhirnya hal itu tak tertahankan lagi dan mencuat dalam bentuk gejala psikis yang sangat ekstrim.

Untuk terapi pasien yang menderita kelainan psikis, “intervensi spiritual” bisa jadi dilakukan. Pada ruang hidup inilah (yaitu penderitaan), psikologi dan agama berintegrasi.

Bagi kebanyakan para psikolog ateis, perilaku manusia dijelaskan secara naturalistis. Artinya, menghindari penjelasan spiritual dan transendental. Bagi Freud, daya bawah sadar manusia adalah dorongan seksual (psikoseksual), bukan mata air spiritual sebagaimana pikiran Jung. Watson berpendapat bahwa proses jiwa di dalam jangan dihiraukan, fokusnya harus pada pengukuran antara stimulus yang masuk (input) dan respon yang keluar (output). Skinner, Hull, Bandura dan Rogers tampaknya mengambil jalan pemuka psikoanalisis dan behaviorisme tersebut.

Charles Tart berbicara tentang kehausan spiritual di tengah modernitas dan kemajuan sains: “Begitu banyak di antara kita yang kaya –tetapi kita masih juga tak puas.”
Orang-orang ini sebenarnya menderita sindrom yang disebut “existential neurosis“, ketidakbahagiaan (ketidaktenteraman) yang bersumber pada pertanyaan-pertanyaan tentang makna.
Dalam psikologi humanistis: kreativitas, vitalitas emosi, autentisitas, dan pencarian makna di atas kepuasan materi adalah hal-hal yang menjadi topik utama. Tetapi, aliran ini masih saja menyiratkan pandangan bahwa pikiran, emosi, dan tubuh semuanya dapat direduksi dan disamakan dengan reaksi materi yang bersifat fisik dan karenanya dibatasi olehnya. Dimensi keempat manusia, yaitu “ruh”, tampaknya masih terabaikan disini. Psikologi transpersonal menemukan relevansinya untuk mengembangkan aspek keempat tersebut.

Psikologi Humanistis

Bersamaan dengan psikologi eksistensialis, muncul sekitar tahun 60-an membentuk angkatan ketiga dalam psikologi. Angkatan pertama adalah psikoanalisis yang muncul di Jerman. Angkatan kedua behaviorisme yang muncul di Amerika.
Ada juga yang menyebut bahwa angkatan ketiga adalah psikologi kognitif yang juga lahir di Amerika ketika rakyat kelas menengahnya bergelimang kemakmuran materi dan menderita dahaga spiritual yang akut.
Kekosongan itu menurut Maslow adalah sebab kekosongan nilai (valuelessness). Tak ada lagi yang dikagumi, dirindukan atau diperjuangkan yang demi hal itu seseorang bisa mempersembahkan hidup dan matinya (to live or to die for). Sekalipun manusia ketika itu tidak lagi hidup bersandar nilai-nilai luhur, kerinduan akan hal tersebut tetap saja hidup. Kemana nilai luhur dicari ? Jelas bukan pada sains modern. Kata Maslow, sains menjadi busuk ketika mencampakkan nilai. Karena sains yang netral-nilai bisa menjadi alat yang dapat digunakan oleh siapapun dan untuk tujuan apapun.
Behaviorisme telah mengorbankan manusia pada belas kasih lingkungan sebagai produk hubungan stimulus-respon, atau yang bertumpu pada pengalaman obyektif dan menolak pengalaman subyektif. Psikoanalisis juga menganggap nilai-nilai tinggi dalam kehidupan ini hanyalah topeng untuk menutupi kebutuhan naluriah yang rendah dan karenanya nihilistik. Maslow berpandangan bahwa psikologi sekarang harus melihat kehidupan spiritual sebagai komponen pokok kehidupan biologis kita. Tegasnya, manusia adalah produk dan resultan dari kerinduan untuk mengaktualisasikan diri dalam bingkai nilai yang diperjuangkannya.

Psikologi Eksistensialis

Psikologi ini mulai menanggalkan metode positivistis dengan mengambil fenomenologi sebagai alatnya. Carl Rogers bahkan memandang bahwa fenomenologi (yang percaya bahwa apa yang dilakukan manusia adalah buah dari refleksi pengalaman subyektifnya terhadap dunia dan diri sendiri) sebagai otoritas terakhir dalam kehidupan, bukan kitab suci, nabi, riset atau lainnya.
Beda dengan Rogers yang cenderung ateis, Victor Frankl memandang bahwa dengan fenomenologi manusia menemukan dimensi eksistensialis yang khas baginya. Dimensi yang disebutnya dimensi noologis atau noetik itu tidak saja melampaui (transcend) tetapi juga mencakup dimensi ragawi dan naluri dimana psikologi Freud berkubang. Dimensi noologis itu adalah keinginan manusia untuk mencari makna. Frankl berpendapat: Orang-orang yang yang punya tujuan atau makna dalam hidupnya dapat bertahan dan berkembang bahkan pada situasi yang paling mengerikan sekalipun. Sebaliknya, orang-orang yang tidak menemukan makna dalam hidupnya dengan cepat melemah, roboh, dan mati karena apati dan putus asa.
Bagi Frankl, agama adalah sebuah fenomena noologis, pencarian makna terakhir (search for ultimate meaning). Sekalipun obyek kepercayaan agama tak akan tertangkap psikologi, ia masih bisa mengkaji aspek manusiawi dari fenomena manusia. Bahkan Frankl menegaskan, karena setiap manusia mencari makna, secara fitrah tiap manusia itu beragama.
Ada “religious sense” tertanan dalam-dalam di “unconscious depths”. Dan rasa beragama ini tidak akan dapat dihilangkan baik oleh psikosis atau penjara.
Soren Kierkegaard melihat, ketika berhadapan dengan pilihan-pilihan hidup yang tak berhingga manusia mengalamai kecemasan (anxiety). Ia bisa saja menolak pilihan dan menjadi budak dari kebutuhan kehidupan hingga gagal menjadi diri yang otentik. Kegagalan inilah yang disebutnya sebagai keputusasaan (despair). Menurutnya, manusia tidak boleh menyerah terhadap pilihan, ia harus punya rujukan, dan rujukan sejati itu menurutnya adalah Tuhan. Ia mengilustrasikan tahapan perjalanan menemukan diri sejati itu dalam tiga tahap: estetik, etik dan religius.

Psikologi Transpersonal

Ken Wilber melihat bahwa psikologi, psikoterapi, filsafat dan tradisi spiritual tidak perlu bersaing dan saling menyingkirkan. Kita harus bisa melihat semuanya berada dalam spektrum kesadaran dan pengalaman yang berbeda.
Menurutnya, manusia bergerak dari tahap prapersonal ke personal lantas transpersonal. Pada tiap tahap yang baru manusia senantiasa mengintegrasikan ciri-ciri “kepribadian” tahap sebelumnya. Untuk kasus sains dan agama, sudah tiba saatnya keduanya untuk berinterasi.
Tokoh yang juga tak bisa diabaikan dalam pendirian aliran ini adalah Anthony Suttich, Abraham Maslow, Stanislav Grof, dan Victor Frankl yang dari pertemuan mereka istilah transpersonal ini lahir.

Empat asumsi dasar dari psikologi ini adalah:

(1) pendekatan kepada penyembuhan dan pertumbuhan yang menyentuh semua tingkat spectrum identitas: prapersonal, personal, dan transpersonal;
(2) mengakui terurainya kesadaran diri terapis serta pandangan dunia spiritualnya sebagai hal yang utama dalam membentuk sifat proses dan hasil terapi;
(3) kebangkitan (awakening) dari identitas kecil menuju identitas yang lebih besar;
(4) membantu proses kebangkitan dengan teknik-teknik yang mempertajam intuisi dan memperdalam kesadaran personal dan transpersonal tentang diri. Hal ini mengantar pada apa yang sekarang lazim dikenal sebagai intervensi spiritual dalam psikoterapi.
Maka, sekarang, psikolog tampaknya harus mengerti agama dan agamawan harus belajar psikologi.

Posmodernisme

Ken Wilber memberi catatan tentang hubungan sains dan agama dalam bentuk 5 situasi:
(1) Sains menolak keabsahan agama. Kaum positivis dan empiris menjadi pendukung utamanya: Comte, Freud, Marx, Bertrand Russel. Bagi mereka, agama patologi bagi kepribadian yang dewasa;
(2) Agama menolak keabsahan sains. Bentuk reaksi kaum fundamentalis terhadap modernitas yang mencemoohkan agama sebagai fantasi anak-anak;
(3) Sains hanyalah salah satu diantara beberapa cara mengetahui yang abash, dan karenanya keduanya bisa berkoeksistensi secara damai. Mistikus Kristen seperti St. Bonaventure dan Hugh dari St. Victor pernah menjelaskan 3 macam mata: eye of flesh (yang beri pengetahuan empiris / sains), eye of mind (yang beri pengetahuan rasional: logika dan matematika), dan eye of contemplation (yang beri pengetahuan ruhaniah / gnosis). Argument ini biasa disebut pluralisme epistemologis. Wilber menyatakan: mata daging bersifat monologis, mata jiwa bersifat dialogis, dan mata kontemplatif bersifat translogis;
(4) Sains menawarkan “plausibility arguments” tentang eksistensi ruh (spirit). Sebagai variasi pluralisme epistemologis, ketika sains sampai pada rahasia terdalam dunia fisik, mereka menemukan fakta dan data yang tampaknya menuntut perlunya mengikutsertakan Maha-intelegensi yang berada di luar wilayah material. Dalam bahasa Sir James Jeans, “in the mind of some eternal Spirits“;
(5) Sains itu sendiri bukanlah pengetahuan tentang dunia, tetapi hanyalah penafsiran tentang dunia, dan karena itu dari segi keabsahan, sains tidak lebih dan tidak kurang dari puisi dan seni. Inilah yang menurut Wilber esensi dari posmodernisme. Dunia baginya tidak dipersepsi, tetapi hanya ditafsirkan. Berbagai penafsiran sama-sama absah untuk memahami dunia. Sains tidak menawarkan “kebenaran”, tetapi hanya prasangka favorit yang dipaksakan secara sewenang-wenang. Klaim sains dan agama sama-sama dihancurkan, manusia dilemparkan dalam jurang relativisme.

Bentuk-bentuk Interaksi Psikologi dan Agama

Jones menyebut 3 model interaksi psikologi dan agama:
(1) Kritis-evaluatis. Teori-teori psikologi dikaji secara kritis apakah tidak bertentangan dengan keyakinan agamanya. Jadi, psikologi diletakkan di bawah mikroskop agama;
(2) Konstruktif. Agama membantu psikolog untuk melihat dunia dengan cara yang baru, membentuk persepsi baru tentang data dan teori. Ajaran agama tidak menjadi sumber data untuk mengevaluasi teori, tetapi menjadi “kacamata” yang mempengaruhi apa yang kita lihat sebagai data atau yang kita rumuskan sebagai teori;
(3) Dialogis dan dialektis. Disini, psikologi tidak memaksa agama mengikuti jalan yang dikehendakinya, sebaliknya agama tidak memaksa sains untuk tunduk pada kehendaknya. Agama harus membantu psikologi memberi perspektif yang berbeda. Psikologi harus membantu agama melihat kehidupan yang berbasiskan pengalaman empiris.

Jones menyatakan: “Kesediaan dialogis dengan agama menyiratkan kesediaan ilmuwan dan professional untuk mendalami teologi dan filsafat. Serta kesediaan teolog dan filosof untuk mendalami sains dan memahami profesi”.